Saat terjadi kekerasan, pembunuhan massal, Pembantaian, Pengkrusakan, Pembakaran rumah penduduk dst yang mengatasnamakan agama. Para agamawan dan banyak orang beragama lain mengatakan; “Agama tidak mengajarkan Kekerasan”, “Agama mengajarkan
menghormati sesama”, “Islam itu cinta damai”, Islam adalah Rahmatan Lil alamin dst..dst. Dengan mengutip ayat-ayat, hadist, cerita-cerita yang menunjukkan presedent dan contoh serta bukti itu semua.
Tetapi agama sebagai sebuah system ajaran, agama itu membuka peluang penafsiran yang memberikan pembenaran bentuk-bentuk kekerasan. Lihatlah defisini ‘KAFIR’, lihatlah definisi ‘SYIRIK’, sehingga satu dengan lainnya bisa mengkafirkan yang lain, mensyirikkan yang lain dst. Bila sudah diputuskan menjadi “KAFIR’, “Syirik”, dll (dan ini dalam ranah penafsiran) maka “Konsekuensi Tindakan” yang mendukung kekerasan (Halal darahnya, tidak dijamin harta dan kehormatannya, dst.. dst) bisa diambil.
Disini sepertinya para agamawan, teolog, guru agama, belum sampai pada suatu titik yang mengatakan bahwa, “Apappun pembenaran bila merendahkan martabat manusia, maka suatu penafsiran harus dipertanyakan keabsahannya”.
Tetapi agama sebagai sebuah system ajaran, agama itu membuka peluang penafsiran yang memberikan pembenaran bentuk-bentuk kekerasan. Lihatlah defisini ‘KAFIR’, lihatlah definisi ‘SYIRIK’, sehingga satu dengan lainnya bisa mengkafirkan yang lain, mensyirikkan yang lain dst. Bila sudah diputuskan menjadi “KAFIR’, “Syirik”, dll (dan ini dalam ranah penafsiran) maka “Konsekuensi Tindakan” yang mendukung kekerasan (Halal darahnya, tidak dijamin harta dan kehormatannya, dst.. dst) bisa diambil.
Disini sepertinya para agamawan, teolog, guru agama, belum sampai pada suatu titik yang mengatakan bahwa, “Apappun pembenaran bila merendahkan martabat manusia, maka suatu penafsiran harus dipertanyakan keabsahannya”.