
NIETZSCHE
Akhir-akhir ini dinegeri kita tercinta, ada kekacauan dalam berita dan kebenaran. Saling klaim kebenaran (karena berfikir dogmatis), sehingga menyebabkan saling menyalahkan, benturan serius vis a vis walaupun bukan dalam bentuk fisik. Benturan wacana adalah awal serius benturan-benturan fisik.
Kita tahu dalam psikologi sosial secara sederhana bisa dikatakan, cara berfikir/wacana menghasilkan sikap, dan sikap menghasilkan konsep tindakan.
Cara berfikir Men-Dogmatis (yang itu terdiri dari KEPATUHAN BUTA, VISI MANIKEN dan MENOLAK PLURALITAS) sangat berbahaya. Daya tarik cara berfikir itu disebabkan oleh kepatuhan yang panjang. Kepatuhan yang melemahkan diakibatkan oleh wacana yang dibiarkan berlangsung lama tanpa perlawanan. Ini semua disebabkan memang wacana itu tidak membuka ruang bertanya dan menafikan suara kritis.
Visi maniken (berfikir hitam-putih, benar-salah, lawan-kawan, berfikir biner), dan itu akhirnya menghasilkan konsep menolak perspektif, pluralitas. Dari hal-hal diatas, menarik untuk melihat bagaimana cara berfikir men-dogmatis, dan pola kebenaran yang dihasikan…dan kritik Sufi-Besar abad 20.
4 model kebenaran yang dipertanyakan oleh Nietzsche (dalam On Truth and Lies in A Nonmoral Sense).
PERTAMA, prinsip eksterioritas (dimana dalam tindakan asli mansuia adalah ekterioritas, lalu objektivasi dan Internalisasi). Ini sebenarnya mau menunjukkan bahwa di balik pengetahuan atau kebenaran bisa tersembunyi permainan naluri tirani. Hasrat akan kekuasaan merupakan naluri utama manusia. Hanya saja peradaban Barat mengajarkan untuk tidak terlalu mengungkapkan hasrat dasariah itu. Maka hasrat akan kekuasaan harus disembunyikan atau dikemas dalam ungkapan yang lebih beradab, bisa dalam bentuk rumusan seperti demi kebaikan dan keselamatan jiwa, obyektivitas, ilmiah, pelayanan, kesejahteraan bersama, keadilan atau tujuan-tujuan kemanusiaan lainnya. Pada dasarnya di balik semua ungkapan luhur itu tersembunyi naluri tirani manusia, yaitu hasrat akan kekuasaan.
Kebenaran sebenarnya dicari karena dengan pengetahuan dan kebenarannya, sesuatu dapat diprediksi, dimanipulasi dan ditundukkan serta difahami. Wujud konkretnya ada dalam tehnologi.
KEDUA, Prinsip fiksi mau menyingkap bahwa kebenaran tidak lain adalah kasus khusus kekeliruan. Asumsinya kebenaran tidak pernah tunggal. Kebenaran adalah plural atau jamak dan tidak definitif. Pluralisme harus dipahami sebagai melawan semua upaya untuk sistematisasi dan penyeragaman yang riil sehingga menghancurkan realitas yang beragam itu sendiri dengan mereduksinya dalam penjelasan bahwa fakta selalu mempunyai hukum umum dan prinsip utama. Bahwa kebenaran merupakan kasus khusus kekeliruan terbukti dengan penemuan Copernicus dan dielaborasi oleh Galileo tentang heliosentrisme alam semesta. Artinya gagasan yang diterima secara umum ternyata salah pada sesudahnya.
KETIGA, prinsip penyebaran (Generalisasi), mau menjelaskan bahwa kebenaran tidak trrgantung pada salah satu subyek, namun pada banyaknya sintesa sejarah. Kesimpulan bahwa bumi itu bulat dibuat dengan banyak hal dan kejadian. Oleh karena itu orang akan mudah jatuh ke jebakan penyederhanaan bila tanpa memperhitungkan variabel sejarah atau mendasarkan hanya pada salah satu pengetahuan atau pengalaman subyek, lalu sudah berani mengambil kesimpulan yang dipegang sebagai kebenaran.
KEEMPAT, prinsip kejadian ialah bahwa kebenaran tidak mendefinisikan seluruh makna asali, tetapi setiap kali merupakan penemuan khas. dalam perspektif ini, konteks menjadi penting karena yang kongkrit ada di tempat dan waktu tertentu. Situasi baru mengundang penemuan kebenaran baru yang bukan sekedar rumusan baru. Prinsip ini bekerja melawan kekuatan reaktif yang lebih menekankan reproduksi, adaptasi dan pemeliharaan. Kebenaran yang keluar dari kekuatan reaktif cenderung melanggengkan status quo sehingga lamban terhadap perubahan. Maka perspektivisme Nietzsche ingin melawan kemandegan karena kebenaran sering menjadi tempat untuk bersembunyinya kepentingan-kepentingan sehingga menentukan cara menafsirkan realitas.
Ciri interpretatif dari semua yang terjadi ialah bahwa tidak ada kejadian yang menampilkan diri secara telanjang. Kebenaran merupakan sekelompok fenomena yang diseleksi dan dikumpulkan, oleh penafsir. Teks yang sama memungkinkan sejumlah penafsiran. Tidak ada penafsiran paling tepat, yang mendasari penafsiran-penafsiran yang lain. Oleh karena itu berlaku perspektivisme maksudnya apa yang dianggap sebagai nyata atau kebenaran tergantung pada perspektif yang dipilih. Tidak ada makna tunggal. Pilihan perspektif tergantung pada nilai, kepentingan dan tujuan yang diistimewakan oleh subyek. Lihat saja sekadar contoh kecil dalam filsafat ilmu dan penelitan antara observasi dan pengamatan. Padahal semua perspektif selalu aksiologis, yaitu selalu diarahkan oleh nilai. Tidak ada perspektif melulu logis, bebas nilai, atau obyektif.
Maka apa yang terjadi? dengan mengetahui sejarah tahu dan pengetahuanm, kita bisa sadar bahwa berfikir men-dogmatis harus dilawan dan dikritisi. sebab itu akan menjadikan budaya-bisu, komunikasi bisu…dan klaim kebenaran. Yang dalam konsep tindakan akan mudah menyalahkan orang, menafikan yang lain dan terjadi kekerasan baik fisik, politik maupun kekerasan simbolik.
Muhammad Alwi, Integrated Multiple Intelligences, Pendidikan Positif