
Pendidikan Islami
Saat kita bertanya-tanya, mengapa para cerdik-pandai di PTN-PTN ternama, justru setelah mereka sadar akan keberagamaan, mereka memilih faham-faham yang cenderung radikal dan intoleran? Mengapa kelompok “Truth Claim”, Takfiri, menjangkiti mereka? Fenomena “IPB dan HTI” kemarin adalah gunung es, yang dibawahnya sangat banyak sekali. Mengapa hasil survei juga menunjukkan seperti itu (PTN dan SMAN banyak faham rdikal dan intoleran disana)? Ada apa dengan pendidikan kita, utamanya pendidikan Agama, di sekolah dan PT?
Nalar Agama
Saat saya kuliah pasca-sarjana (jurusan Manajemen) di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia, dan kebetulan berlangsung mata-kuliah “Methdologi Penelitian”, ada pembahasan tentang DEFINISI ILMIAH. Dikatakan disana bahwa salah satu ciri Ilmiah itu measurable (terukur). Lalu sebagai mahasiswa (yang cukup lama berkecimpung di pesantren), saya tanyakan pada sang-dosen tersebut. Bagaimana dengan Agama? Dimana agama itu membahas Tuhan, juga tidak terukur dan jelas (real)?
Jawabannya PATEN. Beliau (sang-dosen) menjawab, “berbeda antara agama dan ilmiah”, “antara Agama dan ilmu-Pengetahuan”. Lalu karena saya suka dan biasa berfikir kritis (memuji diri sendiri.. he..he…he..), saya kembangkan pertanyaan itu. “Mengapa Ilmu-ilmu Agama masuk di kampus-kampus”? Beliau ‘kelabakan’, berputar-putar menghindar. Dan sebagai mahasiswa Indonesia biasalah…(tidak meneruskan itu…karena bisa-bisa dapat nilai D nanti…he..he….he…). Kasus yang sama juga saya temukan saat kuliah S3 dengan mata kuliah Filsafat-Ilmu di salah satu perguruan tinggi ternama juga.
PEMAHAMAN tentang apa itu agama, dan apa itu ilmiah, serta “Agama itu berbeda dengan ilmu pengetahuan”, sangat-sangat kental dalam pribadi para guru dan dosen. Jangan lagi yang dosen umum-nya., dosen Methodologi Ilmiah dan Filsafat-Ilmu saja seperti itu. Ada apa dengan pendidikan kita?
AGAMA DIPISAHKAN DENGAN ILMU PENGETAHUAN
Agama itu diatas Ilmu-pengetahuan bahkan Filsafat, itu benar. Tetapi cara berfikir-nya (Nalar Agama-nya) mesti dijelaskan bagaimana seperti itu. Yang ada sekarang bukan seperti itu. Difahamkan bahwa AGAMA ITU WILAYAH DOKTRINAL dan ILMU PENGETAHUAN ITU WILAYAH BERFIKIR/ILMIAH. Inilah yang berkembang di masyarakat awam juga di PT umumnya.
Karena cara berfikirnya sudah dipisahkan, maka saat mereka menerima kebenaran-kebenaran Agama (seperti Sejarah Islam, Hadist, Al Qur’an dan Tafsir-nya, Asbab nuzul, Pendapat Ulama dll). Mereka tidak melakukan peraguan, lalu penyelidikan, perbandingan berfikir, berfikir ilmiah, rasional dan lain sebagainya.
Mereka cerdas, rasional, punya pola berfikir ilmiah dan sejenisnya, tetapi secara psikologis, secara paradigmatik, keyakinan Itu TIDAK DIGUNAKAN, atau TIDAK BOLEH DIGUNAKAN saat berhubungan dengan wilayah AGAMA (Sejarah Islam, Hadist, Al Qur’an dan Tafsir serta ilmu agama lainnya). Apalagi ditambah dengan sebagian ajaran agama Islam sendiri yang mencibir, menganggap kurang baik belajar Logika dan Filsafat. Sehingga makin menjadi-jadi bahwa agama itu wilayahnya bukan wilayah rasional, berfikir dan logis.

Baiat dan Deklarasi Khilafah (HTI) di IPB (Bogor)
Dari pola pikir itu, dari lingkungan yang seperti itu, maka kebenaran-kebenaran yang mereka dapatkan (padahal buku-buku banyak yang centang perenang, yang mesti diselidiki dengan ilmiah, dibanding-bandingkan antar pendapat, madzab, sejarah, kepentingan politik dll), Hadist-hasidt yang mereka baca, juga tafsir dst. Itu semua mereka mengaggap ISLAM (final, kebenaran dst). Bukan itu semua sebagai salah-satu pemahaman Islam, salah satu perspektif Islam. Tetapi sekali lagi itulah Islam itu sendiri.
Lalu apa yang terjadi?
Dengan keyakinan bahwa yang mereka dapatkan adalah Islam itu sendiri, Islam itu Kaffah, Kebenaran itu datang dari Allah dst. Serta kemampuan teknis dan lainnya sudah dimiliki (sebagai seorang dosen, bergelar Master, Doktor dll), dan ada kelompok yang mengarahkan (Halaqah-halaqah), maka setelah itu tidak ada lagi “refleksi”, tetapi dakwah…dakwah dan kerja untuk Islam.
Mereka sudah mengantongi ISLAM, yakin hanya itu dan itulah satu-satunya Islam. Maka klaim kebenaran, maka menganggap yang lain tidak benar (takfiri) sangat mudah dilakukan.
Kecerdasan, Kelogisan, cara berfikir Ilmiah yang mereka miliki tidak sama sekali digunakan dalam kasus-kasus agama. Kecendrungan literalis (tekstual), tidak mendalami agama (sampai pada akar sejarah, kodifikasi hadist, keluarnya mdazab dalam Islam juga pengaruh politik dalam beragama dst) membuat kecendrungan “radikal”, rigid/kaku itu.
TRILOGI PERILAKU
Secara sederhana dalam Psikologi-Sosial dapat dikatakan, KONSEPSI (cara berfikir, paradigma), menentukan SIKAP (Kecendrungan, preferensi), dan SIKAP menentuman PERILAKU.
Kalau KONSEPSI yang dibangun seperti itu. Islam ya ini, Islam-KU, yang diperoleh dari Nash yang itu bukan wilayah akal, rasional dst. Dan mereka tidak memahami, lebih tepatnya tidak mau tau, karena paradigma yang dibangun diatas (Mereka tidak risau bahkan mungkin tidak tahu, betapa banyak tafsir dan kontradiksi antar Nash dan akhirnya memestikan sikap legowo dengan perbedaan dll).
Maka SIKAP-nya adalah Islamku yang benar, yang lain salah. Karena mereka (kelompok lain) tidak sepertiku, mereka sebenarnya tidak mengindahkan Nash yang jelas. “ini jelas nash-nya”, “Kebenaran itu dari Allah bukan nalar manusia”, seringkali keluar dari kata-kata mereka.
Maka PERILAKUNYA adalah, radikal (yang lain bukan Islam, bukan Islam yang baik, bid’ah, munafiq, tidak mengindahkan perintah al-Qur’an (Nash), mereka itu liberal, sesat bahkan kafir), dan berkecendrungan menyelesaikan perbedaannya dengan cukup frontal, dst.
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
Ada cukup perkembangan Islamisasi dalam dunia pendidikan kita. Fenomena sekolah berbasis agama yang marak, para orang tua mulai sadar menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah dengan bekal agama cukup dst. Fenomena KPI (Konsorsium Pendidikan Islam), Fenomena sekolah Islam terpadu (yang cenderung Wahabi-Salafi), dan afiliasi dengan kelompok bahkan partai Islam tertentu dst.
Perkembangan Islamisasi pendidikan ini, ternyata tidak menghasilkan pemahaman Islam yang lebih soft, tetapi justru cenderung malah mengkristalkan atau mengkanankan atau menambah sikap radikal masyarakat terdidik Indonesia. Mengapa?
Lihat hasil survey ini : https://tirto.id/survei-uin-jakarta-intoleransi-tumbuh-di-banyak-sekolah-dan-kampus-czQL
Jawabannya kurang lebih sama dengan diatas. Islam dipahami sebagai doktrinal. Maka yang diajarkan disekolah-sekolah adalah Islam yang doktrinal, kebaikan khusus (agama tertentu) bukan kebaikan umum yang cenderung diterima semua kalangan. Baik dan Islami itu adalah sholat tepat waktu, mengaji, hafal al qur’an sekian juz, sholat tahajjud, dhuha, menyantuni fakir miskin dst. Tetapi bagaimana dengan sikap menerima kebenaran, pola pikir kebersamaan, keberagamaan, toleransi, menerima perbedaan dlsb mereka sangat hitam-putih.
APA YANG MESTI DILAKUKAN?
Ayo Pak
Ini pr buat kita
Waaah…. Masih bernafas ya…
Coba pelajari Agustinus dan terutama Aquinas. Berbeda dengan protestan dan sebagian Islam, katolik punya cara pandang yg berbeda soal hubungan iman dan akal budi. Coba juga tradisi filsafat Budhhis, membaca Nagarjuna misalnya tak ubahnya dengan membaca traktat logikanya Russell dan Wittgenstein
Cek juga Muhammad Iqbal. Dia sangat terpengaruh Whitehead yg jika dirujuk akan berhulu juga ke Wittgenstein. Menurut saya, kebanyakan cendikiawan muslim di Indonesia cara berpikirnya masih Cartesian. Padahal tradisi Descartes sudah ditumbangkan oleh Wittgenstein di pergantian abad 20