“Tren Kemasan” Dalam Pendidikan (Antara “Idealisme” dan “Realitas Proses”).
Ini adalah tulisan lama yang ditampilkan lagi sebagai bahan renungan ulang.
Kalau kita melihat Tujuan Pendidikan, maka Pendidikan bertujuan untuk mengantarkan manusia menuju tujuan penciptaanNYA. Menjadi khalifah dibumi dan untuk beribadah kepadanya. Atau dalam bahasa UNESCO, pendidikan mestinya memampukan pebelajar (siswa, murid) untuk memahami learning to Know, learning to Do, Learning to Live Together dan Learning to Be.
Tetapi sayang sekali kalau kita lihat sekarang ini, pendidikan seakan semakin jomlang sebelah. Yang namanya ‘olah rasa’ (Karakter, akhlaq, agama) sangat-sangat kurang diperhatikan. Kita bisa simak itu minimal secara kasat mata dalam prosentase pembelajaran mata ajar itu (olah rasa) disekolah. Untuk ilmu-ilmu olah rasa (agama, akhlaq atau sastra) sangat kecil, padahal semestinya harus ada perimbangan antara keinginan memampukan anak untuk hal-hal yang akali (sain) dengan ilmu lain (agama/akhlaq/Humaniora). Harus cukup berimbang antara meraih kesuksesan (achievable) dan Kebahagiaan (well-being).
Disamping itu fenomena yang lebih memprihatinkan adalah “TREN KEMASAN”. Dimana kemasan dibuat semenarik mungkin untuk “sukses”, sementara mengurangi atau kurang memperhatikan konten atau isinya.
Kita bisa lihat itu disekolah-sekolah yang cukup “maju”. Karena kemasan oke, intertain bagus, kerja entrepreneur oke, blow-up bagus, akhirnya ‘terkesan’ sekolah-sekolah itu hebat. Maka orang berbondong-bondong masuk kesekolah-sekolah seperti itu. Karena animo masyarakat untuk mendaftarkan kesekolah-sekolah seperti itu bagus. Maka sekolah itu seperti itu akan mampu menseleksi murid-muridnya. Ambil contoh yang mendaftar sampai 1000 orang, sementara yang diterima hanya 300 orang. Maka sekolah seperti itu mampu untuk mendapatkan in-put yang bagus. Karena in-put bagus, jelas akhirnya out-put ‘secara’ umum sekolah seperti ini menjadi bagus. Walau seandainya prosesnya hanya rata-rata, bahkan kurang.
Yang lain lagi, karena sekolah favorite, maka “patokan kecurangan” dalam UN dibuat “tinggi” (Dalam imagi masyarakat lumrah kalau sekolah itu nilai UN-nya tinggi bahkan tertinggi). Dan yang menjadi masalah adalah, tidak sedikit sekolah seperti ini, ‘kemasan’ itulah yang jadi penekanan dalam kebijakan sekolah (walau bukan total).
Ada yang lain lagi yaitu tren SBI (sekolah bertaraf international) dengan Cambridge Certificate. Semua sekolah berlomba kesana, bukan mengejar konten (karena ‘hampir tidak ada’ sekolah SBI yang betul-betul SBI). Tetapi itu sarana blow-up sekolah, sarana gagah-gagah-an sebagai sekolah hebat. Bahkan ada sekolah yang menempel SBI, padahal sama sekali tidak SBI (Alhamdulillah trend ini sudah menghilang karena aturannya sudah dianulir, tetapi trand lain muncul). Lembaga-lembaga seperti ini lebih banyak membuat acara-acara intertain, lomba, blow-up untuk terlihat gemerlap, yang itu akan membuat kesan ‘WAH, waoo’.
Padahal tolok ukur keberhasilan sekolah, semestinya adalah perbandingan antara potensi yang mereka punya dan aktualita. Artinya apakah sekolah mampu mengantarkan anak didik menuju aktualisasi potensi-potensi yang mereka miliki.
Kesuksesan sekolah, mestinya kita lihat secara bersama-sama antara; Murid, guru, orang tua, dinas pendidikan dan masyarakat. Apakah sekolah itu sudah memenuhi standart kepuasan atau belum. Sebab standarisasi lulusan, standarisasi proses yang menjadikan hasil pendidikan adalah tanggung jawab kita semua.
Mestinya kita para guru, pendidik, dan wali murid yang masih peduli dengan idealisme pendidikan harus mulai mengupayakan, memperbesar konten daripada kemasan. Bukan berarti kemasan tidak perlu. Artinya kita harus melihat sekolah-sekolah kita dalam dua sisi keberhasilan sekaligus yaitu; Pertama keberhasilan entrepreneur, intertain dengan tolok ukur, diingat masyarakat, disukai masyarakat dengan pendaftar makin banyak, penghasilan (ROI) bagus, juara lomba-lomba (bukan karena pembinaan, tetapi hasil dari in-put masuk) dan Kedua, keberhasilan proses; dimana tolok ukurnya adalah keberhasilan mengantar anak-anak ke sekolah terbaik jenjang diatasnya (SMP favorit, SMA favorit, SPMB, PMDK dst, karena semua ini test dan bersaing), juara lomba-lomba baik sain, sastra, olah raga dll (karena pembinaan, karena persaingan sehat dst), pembangunan karakter yang bagus, dst.
Kita pendidik, guru, wali murid, yayasan, Dinas mestinya sudah mulai melangkah kearah sana, apabila kita tidak ingin pendidikan kita tergerogoti oleh budaya instans, budaya kemasan, dan budaya polesan.
Muhammad Alwi, S.Psi, MM
Mantan Kepala Sekolah, Trainer dan Konsultan Pendidikan. Kandidat Doktor Manajemen Pendidikan. Peminat Filsafat, Agama, Psikologi dan Pendidikan. Penulis Buku, “Belajar Menjadi Bahagia dan Sukses Sejati, Implementasi Multiple Intelligence di Keluarga, Lembaga pendidikan dan Bisnis”. Elexmedia, Kompas-Gramedia, 2011. Serta Anak Cerdas Bahagia dengan Pendidikan Positif (NouraBooks, 2014).