
Pychological Capital, Fred Luthans
Bagaimana memilih karyawan yang baik, yang memiliki kinerja bagus adalah sangat penting dalam perusahaan. Banyak alat, banyak cara untuk menentukan itu baik alat-lat test yang diberikan, manajemen talenta dan lainnya termasuk psikologikal capital. Psikologikal Capital adalah bagian dari Psikologi Positif dan Positive organization behavior (POB).
Menurut Luthans (dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007), Positive Organizational Behavior didefinisikan sebagai suatu ilmu/aplikasi sumber daya manusia secara positif dan kemampuan psikologis yang bisa diukur, dikembangkan dan secara efektif diatur untuk meningkatkan performa di lingkungan kerja. Psychological Capital merupakan bagian dari positive organizational bahaviour yang didefinisikan oleh Luthans, Youssef, & Avolio (2007) sebagai suatu perkembangan keadaan psikologis yang positif pada individu sehingga individu mampu berkembang dengan karakteristik: (1) self-efficacy, (2) optimism, (3) hope, dan (4) resilience.
POB bisa didefinisikan sebagai suatu studi dan aplikasi yang memiliki orientasi positif dari kekuatan sumber daya manusia dan kemampuan psikologis yang bisa diukur, dikembangkan, dan diatur secara efektif untuk meningkatkan performa pada lingkungan pekerjaan (Luthans, 2002b, p. 59 dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Secara tidak langsung, definisi tesebut menjelaskan manfaat POB dalam membuat seseorang untuk semakin produktif sesuai dengan potensi yang ia miliki.
POB juga memiliki beberapa kriteria yang harus dipenuhi, antara lain: (1) suatu konstruk yang positif dan unik, (2) harus berdasarkan teori dan penelitian, (3) bisa diukur secara valid, (4) suatu kriteria yang state-like atau dapat dikembangkan, dan (5) memiliki pengaruh yang positif pada kinerja individu (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007).
Salah satu syarat agar suatu konstruk bisa digolongkan menjadi POB adalah konstruk tersebut harus berupa state-like. State-like itu sendiri memiliki karakteristik seperti terbuka, dapat berubah, dan dapat dikembangkan. Psychological capital termasuk kedalam POB karena memiliki karakteristik state like seperti yang terdapat pada POB. Salah satu buktinya adalah psychological capital dapat menggambarkan secara lebih baik dalam memahami dan mengembangkan sumber daya manusia sebagai aset dari perusahaan (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Psychological capital juga lebih fokus untuk mengembangkan sumber daya manusia sehingga dapat membuat performa meningkat daripada mengembangkan organisasi tempat seseorang bekerja.
Psyhological capital itu memiliki banyak definisi, salah satu definisi psychological capital menurut Luthans, et, al., (2007) “is an individual’s positive psychological state of development and is characterized by: (1) having confidence (self-efficacy) to take on and put in the necessary effort to succeed at challenging tasks; (2) making a positive attribution (optimism) about succeeding now and in the future; (3) persevering toward goals and, when necessary, redirecting paths to goals (hope) in order to succeed; and (4) when beset by problems and adversity, sustaining and bouncing back and even beyond (resiliency) to attain success.”(Luthans, Youssef, & Avolio, 2007 : 3)
Psyhological capital bisa didefinisikan sebagai suatu perkembangan keadaan psikologis yang positif pada individu dengan karakteristik: (1) memiliki kepercayaan diri untuk memilih dan menyerahkan upaya yang diperlukan agar berhasil pada tugas-tugas yang menantang (self-efficacy); (2) membuat atribusi positif tentang keberhasilan di masa kini dan mendatang (optimism); (3) tekun dalam mencapai tujuan dan, bila diperlukan mengalihkan cara untuk mencapai tujuan dalam rangka meraih keberhasilan (hope), dan; (4) Ketika dilanda masalah dan kesulitan, individu dapatbertahan dan bangkit kembali bahkan melampaui keadaan semula untuk mencapai keberhasilan (resilience).
Self-efficacy
Luthans, Youssef & Avolio, (2007) mendefinisikan self-efficacy sebagai suatu keyakinan atau kepercayaan diri seseorang mengenai kemampuannya dalam mengarahkan motivasi, sumber-sumber kognisi, dan melakukan sejumlah tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan tugas dalam konteks tertentu. Luthans, Youssef, dan Avolio (2007) mengemukakan bahwa orang yang memiliki self efficacy memiliki karakteristik: 1) Individu menentukan target yang tinggi bagi dirinya dan mengerjakan tugas-tugas yang sulit. 2) Menerima tantangan secara senang dan terbuka, 3) Memilik motivasi diri yang tinggi, 4) Melakukan berbagai usaha untuk mencapai target yang telah dibuat, 5) Gigih saat menghadapi hambatan.
Dengan adanya kelima karakteristik tersebut orang-orang dengan self efficacy yang tinggi akan dapat mengembangkan dirinya secara mandiri dan mampu untuk menjalankan tugas secara efektif (Luthans, Youssef & Avolio, 2007). Orang yang memiliki self efficacy tinggi akan mampu untuk menetapkan tujuan dan memilih tugas yang sulit untuk dirinya. Sedangkan, pada orang yang memiliki self efficacy rendah, individu akan memiliki keragu-raguan, umpan balik yang negatif, kritik sosial halangan, kegagalan yang berulang (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007).
Selanjutnya Luthans, Youssef, dan Avolio (2007) juga menyebutkan lima penemuan penting terkait dengan self-efficacy, yaitu:
a) Self-efficacy merupakan suatu bidang yang spesifik. Seorang individu bisa saja merasa percaya diri dalam hal tertentu namun tidak percaya diri pada hal lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa self efficacy itu spesifik pada bidang yang ingin dilihat.
b) Hasil dari self-efficacy tergantung pada latihan dan tingkat penguasaan tugas. Individu memiliki self efficacy tinggi dalam suatu hal tertentu karena ia sudah pernah berlatih dan telah menguasai hal tersebut sebelumnya.
c) Self-efficacy dapat terus berkembang. Sesorang mungkin saja memiliki kepercayaan diri yang tinggi dalam suatu hal tetapi ia merasa tidak nyaman ketika diminta melakukan tugas lainnya. Contoh: seseorang yang biasa dan memiliki kemampuan menulis diminta untuk berbicara di depan umum.
d) Self-efficacy dipengaruhi oleh orang lain. Pandangan orang lain terhadap diri seseorang memiliki pengaruh terhadap evaluasi diri yang muncul.
e) Self-efficacy merupakan variabel yang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Tingkat kepercayaan diri seseorang tergantung dari banyak faktor. Faktor tersebut dapat berupa hal yang bisa diraih masing-masing orang seperti pengetahuan dan keterampilan.
Optimism
Menurut Seligman (1998 dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) yang mendefinisikan optimism sebagai suatu cara menginterpretasi kejadian-kejadian positif sebagai suatu hal yang terjadi akibat diri sendiri, bersifat menetap, dan dapat terjadi dalam berbagai situasi; serta menginterpretasikan kejadian-kejadian negatif sebagai suatu hal yang terjadi akibat hal-hal di luar diri, bersifat sementara, dan hanya terjadi pada situasi tertentu saja. Definisi lain mengenai optimisme adalah sebuah gambaran dalam psikologi positif sebagai harapan masa depan yang positif dan terbuka pada perkembangan diri yang menetap (Carver dan Scheier, 2002, dalam Avey, Richard, Luthans, Mhatre, 2011).
Hope
Menurut Snyder (dalam Luthans, et, al., 2007), hope adalah suatu keadaan motivasi positif yang didasari oleh proses interaksi antara (1) agency/willpower (kekuatan keinginan)–komponen ini adalah energi untuk mencapai tujuan dan (2) pathways/waypower (perencanaan untuk mencapai tujuan) untuk mencapai kesuksesan. Hal yang membuat Hope berbeda dengan komponen lainnya adalah komponen hope memiliki pathway yang merupakan suatu perencanaan untuk mencapai tujuan, dan agency yang menjelaskan bahwa hope bisa diterapkan pada kehidupan sehari-hari.
Individu yang memiliki hope, orang tersebut akan memiliki kemampuan untuk mencari jalan alternatif dalam menyelesaikan permasalahan hidupnya sehari hari meskipun ia mengalami berbagai hambatan Luthans, Youssef, dan Avolio (2007) menyatakan bahwa ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan hope pada diri seseorang. Hal yang perlu diperhatikan adalah goal-setting. Seseorang perlu mengetahui apa yang menjadi tujuannya sehingga ia tahu apa yang dituju dan cara yang perlu dilakukan untuk mencapainya. Selain itu, orang tersebut perlu melakukan stepping untuk meningkatkan hope dalam dirinya. Stepping itu sendiri merupakan suatu cara untuk menjabarkan setiap langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Hal terakhir yang dapat meningkatkan hope adalah reward. Reward mampu mendorong seseorang untuk mencapai harapannya sehingga ia akan termotivasi untuk bekerja.
Resiliency
Resiliensi bisa didefinisikan sebagai suatu kemampuan untuk memantul atau bangkit kembali dari kesulitan, konflik, kegagalan, bahkan pada persitiwa positif, kemajuan, dan peningkatan tanggung jawab (Luthans, t.th., dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Seseorang yang memiliki kemampuan resiliensi yang tinggi mampu untuk belajar dan berkembang dari tantangan yang dihadapi. Masten dan Reed (2002 p75 dalam Luthans, Luthans, Youssef & Avolio, 2007) mendefinisikan resiliensi sebagai suatu fenomena dengan pola adaptasi positif dalam konteks situasi yang menyulitkan dan beresiko.
Masten dan Reed (2001 dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) menjelaskan bahwa perkembangan dari resiliensi itu sendiri bergantung pada dua faktor yaitu resiliency assets dan resilience risk (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Resiliency assets adalah karateristik yang dapat diukur pada suatu kelompok atau individu yang dapat memprediksi keluaran positif di masa yang akan datang dengan kriteria yang spesifik. Resilience risk adalah sesuatu yang dapat meningkatkan keluaran yang tidak diinginkan, seperti pengalaman yang tidak mendukung perkembangan diri, contohnya seperti kecanduan alkohol, obat-obatan terlarang, dan terpapar trauma kekerasan.
Hasil temuan Youssef & Luthans (2005, dalam Luthans, Norman, Avolio, & Avey 2008) menunjukkan bahwa resiliency memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pekerja dalam hal kepuasan, kebahagiaan, dan komitmen pada pekerja. Hal tersebut menunjukkan bahwa resiliency memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan individu.
Muhammad Alwi, S.Psi,.MM